MAKALAH
MAQASID
AL-SYARIAH
DISUSUN
OLEH:
KELOMPOK
XI
1.APRILIA
PURNAMA WATI (1501060929)
2.MULIATI (15010609)
3.
KHAIRIL ANAM (15010609)
JURUSAN
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
segala Puji bagi Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul “MAQASID
AL-SYARIAH” tepat pada waktunya.
Salawat
dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabiyullah Muhammad SAW yang telah
membawa dan membimbing kita ke jalan yang diridhoi Allah SWT . Terimakasih kami
ucapkan kepada Dosen yang telah
menugaskan penyusunan makalah ini kepada kami.
Makalah
ini masih jauh dari sempurna baik dari segi ilmu maupun penulisannya, oleh
karena itu diharapkan tegur sapa yang membangun dalam usaha penyempurnaan dan
upaya-upaya kearah tersebut akan sangat diperhatikan dan dihargai. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat. Amin ya robbal alamin.
Mataram,24 Maret 2016
Kelompok XI
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR..................................................................................................
DAFTAR
ISI.................................................................................................................
BAB
I PENDAHULUAN.............................................................................................
A. LATAR BELAKANG .....................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH..................................................................................
C. TUJUAN PENULISAN....................................................................................
BAB
II PEMBAHASAN..............................................................................................
A. MEMAHAMI PENGERTIAN MAQASID
AL-SYARIAH………………
B. MENGETAHUI MACAM-MACAM
DARI MAQASID AL-SYARIAH
BAB
III PENUTUP......................................................................................................
KESIMPULAN
............................................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Perlu diketahui bahwa syariah tidak
menciptakan hokum-hukunnya dengan kebetulan,tetapi hukum-hukum itu bertujuan
untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum.Kita yidak dapat memahami nash-nash
yang hakiki kecuali mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’dalam menciptakan nash-nash
itu.Petunjuk-petunjuk lafadz dan ibaratnya terhadap makna sebenarnya
kadang-kadang menerima beberapa makna yang ditarjihkan yang salah satu maknanya
adalah mengetahui maksud syara’.Ulama ushul fikih juga menyimpulkan bahwa nash
Al-Qur’an dan Hadist nabi selain menunjukkan hukum melalui bunyi bahasanya juga
melaui ruh tasry’I atau maasid al-syariah atau (tujuan hukum).Berangkat dari
Maqasid syariah maka istinbat hukum dapat dikembangkan untuk menjawab
permasalahan-permasalahan yang tidak terjawab oleh kebahasaan dalam Al-Qur’an
dan hadist melalui Qiyas istilah maslahah mursalah dan urf yang juga dapat
disebut sebagai dalil,Abdul Wahab Khallaf dalam bukunya ilmu ushul fikih
menegaskan pentingnya mengetahui tujuan umum hukum syariat karena dapat
berfungsi sebagai alat bantu untuk mengetahui nas dan penerapannya terhadap
peristiwa yang tidak ada hukumnya. Berikut ini akan diuraikan tentang Maqasid
al-syariah dan perannya dalam pembentukan hukum.
B.RUMUSAN
MASALAH
1. Apakah
pengertian dari Maqasid Al-Syariah itu?
2. Apa
sajakah macam-macam dari Maqasid Al- Syariah ?
C.TUJUAN
PENULISAN
1. Mengetahui
dan memahami pengertian dari Maqasid Al-Syariah
2. Mengetahui
dan memahami macam –macam dari Maqasid
AL-Syariah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Maqasid Al-Syariah.
Secara
bahasa maqasid al-syariah berarti tujuan hukum syariat.Sedangkan secara lughawi
maqasid al-syariah terdiri dari dua kata yakni maqasid dan syariah.Maqasid
adalah Secara lughawi maqasid al syari’ah
terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk jama’
dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara bahasa
berarti المواضع تحدر الى الماء yang berarti jalan menuju sumber air.
Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok
kehidupan. Dalam karyanya al-Muwafaqat, al-Syatibi mempergunakan kata yang
berbeda-beda berkaitan dengan maqasid al-syari’ah. Kata-kata itu ialah maqasid
al-syari’ah, al-maqasid al-syar’iyyah fi al-syari’ah, dan maqasid min syar’i
al-hukum.
Menurut al-Syatibi sebagai yang dikutip dari
ungkapannya sendiri:
“ Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.”
Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh al-Syatibi
“Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan
hamba."
Jadi, maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai
dalam melakukan sesuatu. Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama
usul fiqh tentang istilah maqasid. Ulama klasik tidak pern mengemukakan
definisi yang spesifik terhadap maqasid, malah al-Syatibi yang terkenal sebagai
pelopor ilmu maqasid pun tidak pernah memberikan definisi tertentu kepadanya.
Namun ini tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-hukum
syara'. Berbagai tanggapan terhadap maqasid
dapat dilihat di dalam karya-karya mereka. Kita akan dapati tanggapan ulama
klasik yang pelbagai inilah yang menjadi unsur di dalam definisi-definisi yang
dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas mereka. Apa yang pasti ialah
nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad dan
hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid syara' itu sendiri memang telah
terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Ada yang menganggap maqasid ialah maslahah itu
sendiri, sama dengan menarik maslahah atau menolak mafsadah.Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa syariah itu
berasaskan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia di dunia
atau di akhirat.Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan
tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada
manusia. Sementara Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat sedemikian apabila beliau
mengatakan "Syariat itu semuanya maslahah, menolak
kejahatan atau menarik kebaikan…".
Ada juga yang memahami maqasid sebagai lima prinsip
Islam yang
asas yaitu menjaga agama, jiwa, akal , keturunan dan harta. Di satu
sudut yang lain, ada juga ulama klasik yang menganggap maqasid itu sebagai
logika pensyariatan sesuatu hukum.
Kesimpulannya maqasid syariah ialah
"matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi
kepentingan umat manusia". Para ulama telah menulis tentang
maksud-maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar syariah
telah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai
berikut:
a.)
Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah
Ta’abbud yang berhubungan langsung antara manusia dan khaliqnya, yang satu
persatu nya telah dijelaskan oleh syara’.
b.)
Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu
kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau seperti yang ditegaskan oleh Al Izz
Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala
macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada maslahah di dalam
dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita itu.
Tidak memberi manfaat kepada Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak
memberi mudarat kepada Allah maksiatnya orang yang durhaka”.
Akal
dapat mengetahui maksud
syara’ terhadap segala hukum muamalah, yaitu berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan manfaat
bagi manusia dan menolak mafsadat dari mereka. Segala manfaat ialah mubah dan
segala hal mafsadat ialah haram. Namun ada beberapa ulama, diantaranya, Daud
Azh – Zhahiri tidak membedakan antara ibadah dengan muamalah.
2. Macam-Macam Maqasid al-Syariah
Beberapa
ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok,
yaitu:
a.) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat
kebutuhan primer manusia (Maqashid al- Dharuriyat)
Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang
telah kami uraikan adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama,
jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi
masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin realisasinya dan
pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia
kebutuhan primernya.
1) Agama
Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum, dan
undang-undang yang telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya (hubungan vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan horizontal).
agama Islam juga merupakan nikmat Allah
yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surat
al-Maidah : 3
”pada hari Ini Telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Beragama merupakan kekhususan bagi manusia,
merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena agama lah yang dapat
menyentuh nurani manusia. seperti perintah Allah agar kita tetap berusaha menegakkan
agama, seperti firman-Nya dalam surat Asy-syura : ayat 13.
Agama Islam juga
harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang
hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah akhlaknya,atau yang akan mencampur
adukkan kebenaran ajaran islam dengan
berbagai paham dan aliran yang batil. walau begitu, agama islam memberi
perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini dan
melaksanakan ibadah menurut agama yang diyakininya, orang-orang islam tidak
memaksa seseorang untuk memeluk agama islam. hal ini seperti yang telah
ditegaskan Allah dalam firman-Nya dalam surat al-Baqarah : 256.
2)
Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam
dengan hukuman Qisas (pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat
(tebusan) sehingga dengan demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan,
berfikir secara dalam terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka
seseorang yang membunuh tersebut juga akan mati, atau jika yang dibunuh
tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera yang seimbang dengan perbuatannya.
Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula
hadist dari nabi Muhammad, diantara ayat-ayat tersebut adalah :
1) Surat Al-Baqarah ayat 178-179
2) Surat al-an’am ayat 151
3) Surat Al-Isra’ ayat 31
4) Surat Al-Isra’ ayat 33
5) Surat An-Nisa ayat 92-93
6) Surat Al-Maidah ayat 32.
Berikut ini adalah salah satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi di dunia, yaitu surat
Al-Isra’ ayat 33
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang
benar[853]. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah
memberi kekuasaan[854] kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan”.
3) Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh
makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan
sebaik-baik bentuk, dan melengkapi bentuk itu dengan akal.
Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang minum Khomr
(jenis menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang
meminumnya atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.
Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang
yang berakal dan menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran
kepada seluruh hal yang ada di bumi ini, termasuk kepada binatang ternak, kurma,
hingga lebah, seperti yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 66-69.
“66. Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu
benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa
yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah,
yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.
67. Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat
minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
68. Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah:
"Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di
tempat-tempat yang dibikin manusia",
69. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam)
buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari
perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di
dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan”.
4) Memelihara Keturunan
Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan
dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini,
sebagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus
dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua
manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir
dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam tak
hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat
membawa pada zina.
5) Memelihara harta benda
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan
Allah, namun Islam
juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan
mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai
terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat
seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai dll.
b.) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat
kebutuhan sekunder manusia (Maqashid al-Hajiyat)
Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia
bertitik tolak kepada sesuatu yan gdapat menghilangkan kesempitan manusia,
meringankan beban yan gmenyulitkan mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah
dan mubadalah (tukar menukar bagi mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan
sejumlah hukum dalam berbagai ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), yang
dengan itu dimaksudkan menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.
Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum
rukhsoh (keringanan, kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada
kesullitan dalam melaksanakan hukum azimah (kewajiban). contoh,
diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan ramadhan bagi orang yang sakit
atau sedang bepergian.
Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad
(kontrak) dan urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. seperti, jual
beli, syirkah (perseroan), mudharobah (berniaga dengan harta orang lain) dll.
c.) Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat
kebutuhan pelengkap manusia (Maqashid al-Tahsini)
Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap
ketika Islam
mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat
menyempurnakannya. Ketika
Islam menganjurkan perbuatan sunnat
(tathawwu’), maka Islam
menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya.
Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang
dilaksanakannya sebelum sempurna .
Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari
hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang
disyariatkan adalah memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan
sekundernya atau kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang
memelihara salah satu diantara tiga kepentingan tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Maqasid syariah ialah matlamat-matlamat yang ingin
dicapai oleh syariat demi kepentingan umat manusia.
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan
beberapa maksud yang umum dari menasyri’atkan hukum menjadi tiga kelompok,
yaitu:
a.)
Syariat yang berhubungan dengan
hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia. Kebutuhan primer ini dibagi menjadi
lima, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
b.)
Syariat yang berhubungan dengan
hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia. Kebutuhan ini yang dapat memperlancar
hubungan antar manusia, seperti muamalah, mubadalah ibadah secara horizontal,
dll.
c.)
Syariat yang berhubungan dengan
hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul
Wahab Khallaf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
Hammad al-Obeidi, al-Syatibi wa Maqasid
al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah, Tripoli, cet.
Pertama, 1401H/1992
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in,
Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996, jilid 3
Ismail
Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi aksara, Jakarta, 1992
Khairul
Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 2001
Muhammad Fathi al-Duraini, al-Manahij
al-usuliyyah, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1997
Nuruddin Mukhtar, al-Khadimi, al-Ijtihad
al-Maqasidi,Qatar , 1998